PROGRAM “COMBATING DATING VIOLENCE” (MeLAWAN Kekerasan dalam berpacaran) BAGI PELAJAR SMA DI KOTA BOGOR


 


Diusulkan Oleh:


Okvina Nur Alvita


Astatin Fitriani


Atika Rahma


Khairunnisa N.


M. Reza Maulana


 


 


PERUMUSAN MASALAH


Ada ungkapan yang menyatakan bahwa masa remaja adalah masa yang terindah dan masa yang tak terlupakan. Masa remaja seringkali “dibumbui” dengan hubungan khusus dengan lawan jenis. Masa tersebut seharusnya dilewati dengan penuh sukacita, namun tak jarang beberapa orang melewatinya dengan berbagai pengalaman yang kurang menyenangkan, terutama saat mereka berpacaran. Saat berpacaran, beberapa remaja mengaku pernah mendapatkan perlakuan kasar dari pasangannya atau sering disebut dengan kekerasan dalam berpacaran.


Kekerasan dalam berpacaran telah banyak terjadi di Indonesia seperti yang diberitakan pada harian Suara Merdeka (8 Maret 2004) bahwa terdapat 28 kasus kekerasan dalam berpacaran. Rifka Annisa, sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang bergerak di bidang kesehatan reproduksi dan jender menemukan bahwa sejak tahun 1994 – 2001, dari 1683 kasus kekerasan yang ditangani, 385 diantaranya adalah kekerasan dalam berpacaran (Komnas Perempuan, 2002). Rumah Sakit Bhayangkara di Makassar yang baru-baru ini membuka pelayanan satu atap (One Stop Service) dalam menangani masalah kekerasan terhadap perempuan mendapatkan bahwa dari tahun 2000-2001 ada 7 kasus kekerasan dalam pacaran yang dilaporkan. (Kompas-online 4 Maret 2002). Sedangkan PKBI Yogyakarta mendapatkan bahwa dari bulan Januari hingga Juni 2001 saja, terdapat 47 kasus kekerasan dalam berpacaran, 57% di antaranya adalah kekerasan emosional, 20% mengaku mengalami kekerasan seksual, 15% mengalami kekerasan fisik, dan 8% lainnya merupakan kasus kekerasan ekonomi[1].


Beberapa kasus kekerasan dalam berpacaran juga terjadi di kota Bogor. Lembaga Pratista Indonesia yang merupakan lembaga non-pemerintah yang bergerak di bidang perlindungan terhadap anak dan perempuan dari tindak kekerasan menemukan beberapa kasus tindak kekerasan dalam berpacaran yang terjadi di kota Bogor seperti disajikan pada tabel 1.


Tabel 1. Kasus kekerasan dalam berpacaran yang masuk melalui hot line service.













































No



Usia Ketika Pengaduan



Kasus



1.



24 th



Seks pra nikah sampai hamil, pacar meninggalkannya



2.



23 th



Seks pra nikah sampai hamil, pacar meninggalkannya



3.



17 th



Kekerasan seksual, dengan bujukan (janji akan menikahi)



4.



25 th



Seks pra nikah, pacar meninggalkannya



5.



22 th



Fisik (pemukulan), psikis (dimarah-marahi, dilecehkan, dibanding2kan dengan pelacur), ekonomi (dimintain uang untuk kebutuhan pelaku)



6.



16 th



Seksual (diberi minuman sampai pingsan sebelum disetubuhi)



7.



20 th



Fisik (pemukulan), Psikis (pembatasan ruang gerak bergaul, dimarah-marahin, diancam, tidak boleh putus), ekonomi (P sering minta ditarktir)



Sumber: Lembaga Pratista Indonesia (2007)


Kasus kekerasan dalam berpacaran dikota Bogor juga terjadi pada remaja, khususnya pelajar SMA. Lembaga Pratista Indonesia juga menemukan beberapa kasus kekerasan dalam berpacaran yang terjadi pada pelajar SMA. Data kekerasan dalam berpacaran pada pelajar SMA di kota Bogor dapat dilihat pada tabel 2.




Tabel 2. Kasus kekerasan dalam berpacaran yang terjadi pada usia remaja (pelajar SMA)

























Kasus



Jumlah Kasus



Perselingkuhan



1



Psikis (pembatasan ruang gerak bergaul, dimarah-marahin)



1



Dimanfaatkan secara fisik, psikis maupun seksual (karena korban terlalu sayang)



2



Diajak bersetubuh, K mau karena takut kehilangan P, setelah beberapa kali melakukan persetubuhan K ditinggalkan begitu saja.



1



Sumber: Lembaga Pratista Indonesia (2007)


Berdasarkan data-data yang telah disebutkan di atas dan pada bagian sebelumnya, menunjukkan tindak kekerasan yang terjadi saat berpacaran di Indonesia berada pada tingkat yang cukup mengkhawatirkan. Hal tersebut berkaitan dengan dampak yang diterima oleh korban kekerasan dalam berpacaran.


Permasalahan kekerasan dalam berpacaran harus segera dicari jalan keluarnya, karena remaja merupakan generasi penerus bangsa yang akan memegang peranan penting bagi kemajuan bangsa di masa yang akan datang. Apabila pada masa remajanya seseorang mendapat perlakuan yang kasar sehingga dapat mengganggu kestabilan jiwanya, maka hal ini dapat membawa dampak yang buruk bagi perkembangannya, terutama perkembangan jiwanya saat ia dewasa.


Kekerasan dalam berpacaran yang umum terjadi adalah kekerasan seksual dimana korban dipaksa mulai dari melakukan ciuman sampai dengan intercourse ataupun “outercourse”. Remaja berani melakukan hubungan seksual asalkan mereka tidak mengalami kehamilan, sehingga hubungan seksual yang dilakukan lebih pada “safe-sex”, tidak ada rasa tanggung jawab sedikit pun didalamnya.


Untuk mencegah sekaligus menanggulangi semakin meluasnya paradigma seperti telah disebutkan di atas maka dibutuhkan sebuah program yang dapat memberikan pengetahuan dan penyadaran terhadap remaja di Indonesia agar terhindar dari terjadinya tindak kekerasan dalam berpacaran. Program ini juga diharapkan dapat memberikan motivasi pada remaja yang telah mengalami kekerasan dalam berpacaran agar ia mampu bangkit kembali dan bisa menjalani hidup dengan lebih produktif.


Program sejenis pernah dilakukan di Amerika Serikat dalam upaya pencegahan hubungan seks bebas (termasuk dalam kekerasan seksual) pada remaja. Program tersebut secara efektif mampu menurunkan angka kehamilan di luar nikah dari 20% menjadi 2,5% pada tahun 1986, dan 1,5% pada tahun 1988[2].


Salah satu jalan yang dapat ditempuh untuk mengatasi kondisi yang dapat mengganggu stabilitas bangsa adalah dengan memberikan edukasi pada remaja tentang hal yang yang berkaitan dengan kekerasan dalam berpacaran sehingga mereka memiliki kesadaran tinggi terhadap tindak kekerasan yang dapat terjadi padanya maupun pada orang lain. Selain memberikan edukasi, bagi remaja yang pernah mengalami tindak kekerasan diperlukan suatu motivasi agar mereka dapat keluar dari trauma yang membelenggunya dan mampu menjalani hidup dengan produktif.






[1] Kompas, 20 Juli 2002 dalam http://www.bkkbn.go.id. Diakses pada tanggal 19 September 2007.


 


[2] Kilpatrick, W. 1992. Why Johnny can’t Tell Right from Wrong: and What We Can Do About It. New York: Simon & Schuster Inc.