Saya baru saja mendapat tugas mewawancarai salah satu pegawai di tempat saya menimba ilmu saat ini. Pegawai tersebut merupakan salah satu staf tata usaha. Amanah yang diembannya setiap hari adalah menyiapkan LCD di tiap-tiap jadwal kuliah. Dalam menjalankan amanah tersebut ia tidak mendapat bantuan dari siapapun.


Sejak saya mulai masuk di tempat dimana saya saat ini menimba ilmu, saya sudah menyadari bahwa beliau merupakan salah satu pegawai yang cukup rajin serta tidak banyak omong. Memang benar adanya, beliau adalah salah satu tipe orang yang “sedikit bicara, banyak bekerja”. Bahkan beberapa kali ketika hari sabtu dan minggu jika saya ada kegiatan di kampus, atau malam hari ketika ada rapat-rapat organisasi saya seringkali melihat beliau masih melakukan beberapa pekerjaan yang lain (seperti mengurus taman kampus, menyapu kelas, dll). Awalnya yang terbersit dalam benak saya, beliau merupakan salah satu dari sekian banyak pegawai yang memiliki tanggung jawab serta dedikasi tinggi pada pekerjaannya. Namun ketika tadi saya sedikit mengobrol dengan beliau (sebelumnya saya belum pernah mengobrol kecuali jika diperlukan dan mendesak, bahkan menyapa pun jarang karena beliau termasuk tipe orang pendiam), saya akui saya kagum dengan beliau.


"Mahasiswa harus Inisiatif"


-Andrea Hirata-


Tanggal 24 Oktober 2008 merupakan salah satu hari bersejarah bagi IPB karena untuk pertama kalinya Kick Andy Off Air diadakan di IPB tepatnya di gedung Graha Widya Wisuda, Kampus IPB Dramaga-Bogor. Salah satu bintang tamu pada acara tersebut adalah seorang yang sangat fenomenal pada kurun waktu dua tahun terakhir ini. Ia sudah tidak asing lagi bagi masyarakat Indonesia melalui karyanya yang cukup menggebrak dunia sastra, tidak hanya di Indonesia, namun juga sampai mancanegara. Yup, dia adalah Andrea Hirata.


Setelah acara Kick Andy usai, BEM KM IPB diberi kesempatan khusus untuk melakukan wawancara eksklusif dengan Andrea Hirata, dan berikut ini adalah hasil wawancara yang telah dilakukan.


FAMILY AND CONSUMER EXPO 2008

Posted on 01.02
Himpunan Mahasiswa Ilmu Keluarga dan Konsumen (HIMAIKO)
Institut Pertanian Bogor, proudly present:

FAMILY AND CONSUMER EXPO 2008

1. Seminar Nasional
Tema : "TV sebagai Media Pembentuk Karakter Bangsa ?"
Pembicara :
Farhan (Artis/Presenter)
Ratna Megawangi, P.hD (Direktur Indonesian Heritage Foundation)
Sang Nyoman Suwisma (Direktur TPI)

Hari/Tanggal : Sabtu, 29 November 2008
Waktu : Pukul 08.00- selesai
Tempat : Balaikota Kota Bogor
HTM :
Rp.30.000,00 (Pelajar/S0/ S1)
Rp.50.000,00 (Umum/S2/S3)

2. Family and Consumer Expo
Expo akan diadakan pada Sabtu, 29 November 2008 di Halaman Balaikota
Kota Bogor, akan menampilkan seluruh karya tulis dan karikatur yang
diterima oleh panitia dan beberapa pameran dari instansi-instansi yang
berhubungan dengan keluarga dan konsumen.

Contact Person :
Yuli : 085219259757
Ayu : 085693218728

FAMILY AND CONSUMER EXPO 2008

Posted on 00.52

wawancara eksklusif dengan Andrea Hirata

Posted on 05.53
rasanya….

kayak nggak yakin ini tuh beneran atau nggak….
aduh gak tau deh harus ngomong apa…
sumpah ya….
kayak dream comes true tau gak…
bayangin,, vina naik mobilnya Andrea Hirata!! trus wawancara eksklusif ma dia selama 40 menit….

pengen tau khan gimana ceritanya sampe vina bisa wawancara eksklusif ma Andrea Hirata? jadi gini,, tadi tuh ada acara kick Andy off air di IPB dan salah satu bintang tamunya adalah Andrea Hirata,, trus dari pihak BEM KM IPB sebagai penyelenggara diberi kesempatan untuk melakukan wawancara eksklusif,, trus menteri Kominfo BEM KM IPB nunjuk vina yang bertugas untuk ngewawancarai Andrea Hirata,, tapi vina berdua ma anak dari Koran kampus IPB (namanya Dina)….

awalnya, vina udah hampir nggak jadi wawancara ma Andrea Hirata karena ketinggalan mobilnya Andrea Hirata,, tapi vina kejar pake ojeg,, akhirnya kekejar juga mobilnya, trus langsung masuk deh ke mobilnya (tapi sebelumnya bayar ojeg dulu pastinya,, hehehe),,

walopun agak dimarahin gitu ma manajernya karena vina n dina gak matuhin untuk stand by di samping mobil Andrea Hirata,, tapi gak papa jadi punya pengalaman ngejar2 orang penting… hehehe. setelah udah di dalem mobilnya n bisa ngatur napas dengan lebih baik, mulai deh wawancaranya….awalnya wawancaranya dilakukan di mobil,, tapi Andrea Hiratanya minta untuk mampir ke tempat makan gitu biar lebih kondusif n bisa foto2 pastinya... Akhirnya wawancaranya dilanjutkan di salah satu rumah makan di daerah Laladon.

pasti pada ngiri khan???apalagi fans2 Andrea Hirata…sabar ya,,kalo udah rejeki nggak bakalan kemana kok….
Hwaaaaa…..
thanks berat deh buat Irvan Setya Adji yang kasih kesempatan ngewawancarain Andrea Hirata buat vina….
dia tau bgt kalo vina bener2 kagum ma tuh orang,, n setelah wawancara tadi vina tambah kagum ma Andrea Hirata… Andrea Hirata tuh bener2 low profile bgt… trus pemikirannya bo’,,, luas n jernih bgt…
huhuhu…

pokoknya thanks bet dah ma menteriku yang paling baik… dan juga yang paling utama Terima kasih Allah... hamba yakin ini adalah salah satu serpihan mozaik hidup hamba yang dengan telah sempurna engkau rencanakan untuk hamba...

penasaran khan vina wawancaranya tentang apa ma Andrea Hirata,, tenang2,, nggak lama lagi pasti ada postingan wawancara Eksklusif Andrea Hirata dengan Vina dan Dina (redaktur koran kampus IPB).

So, don’t miss it….


BE A CREATIVE YOUTH FOR AGRICULTURE : PROGRAM MENINGKATKAN MINAT DAN KECINTAAN TERHADAP PERTANIAN BAGI PELAJAR SMK DI KOTA BOGOR


Diusulkan Oleh:


Okvina Nur Alvita


Ruri Kurnia Andany


Bayu Isra’ Liswardana


Ayu Fitri K.


Gina Ginanjarsari





I. LATAR BELAKANG MASALAH


Era globalisasi telah membawa berbagai perubahan dalam perkembangan dunia dewasa ini. Perubahan-perubahan yang terjadi tersebut meliputi berbagai bidang, salah satunya adalah dalam bidang ekonomi. Perkembangan ekonomi berjalan sesuai dengan perkembangan zaman, Alvin Toffler dalam Future Shock (1970) dalam Simatupang (2007)[[1]] menyebutkan bahwa peradaban manusia terdiri dari tiga gelombang; era pertanian, era industri, dan era informasi, Presiden Indonesia berpendapat bahwa gelombang peradaban keempat ini adalah era kreatif sebagai kelanjutan dari gelombang ekonomi informasi. Lebih lanjut Presiden juga menyatakan bahwa ekonomi kreatif adalah ekonomi gelombang keempat, yang berorientasi pada kreativitas, budaya, serta warisan budaya dan lingkungan. Ekonomi kreatif adalah ekonomi yang lebih mengedepankan kreativitas, dan inovasi sebagai motor penggerak ekonomi.


IPB INTERNATIONAL STUDENT CONFERENCE (IISC) 2008

Posted on 23.23

PREPARING AGRICULTURAL PEOPLE TOWARD CREATIVE ECONOMY ERA FOR BETTER LIFE IN THE FUTURE


Written by: Okvina Nur Alvita, Febi Damiko, Hidayat Syarifuddin



ABSTRACT


Globalization era has brought various changes in growth of the world these days. The changes cover various areas; one of them is in the field of economics. Economic growth walk as according to epoch growth, Alvin Toffler in Simatupang (2007) mentioning that civilization of human being consisted of three wave: agriculture era, industrial era, and the information era. President of Republic of Indonesia have a notion that the fourth wave of civilization is creative economy era as continuation from economic wave of information. Furthermore, President also expresses that creative economics as the fourth wave of economics era, orienting at creativity, cultural, and also the cultural heritage and the environment. Creative economic is the economics era that place creativity, and innovate as a motor of economic activator.


Indonesia as agricultural country faces a challenge to survive in the era of newly economics. Considering agricultural economy represent economics of first wave in this world, but the agriculture represent Indonesian nation spirit. Conscious of this fact, we required the effective way to prepare creative human in Indonesia who not only able to compete in this newly era but also have a spirit of Indonesian nation as agricultural state.


Preparing Indonesian people who not only creative, but also have spirit of Indonesian nation as agricultural state can be gone through by education. Education that proven the effective way to develop children’s creativity is by applying method of holistic education base on character (Hastuti, 2006). In her dissertation, Hastuti (2006) mentioning that children who get method of holistic education base on character has higher level of creativity than children which don’t get method of this education.


Creativity which has been builded since in the elementary school can bear creative individuals in the future. And of course the creativity owned by each the individual can used to develop Indonesia as agricultural state.


I Love Indonesia

Posted on 05.18
Selama dua minggu yang lalu saya bersama 22 mahasiswa lain dari IPB mengikuti program Student Exchange ke Malaysia. Yang saya rasakan saat berada di Malaysia, dalam bahasa melayunya “Seronok sangat”, artinya jika dalam bahasa Indonesia adalah senang banget diamat sangat (lebay deh…). Orang-orang di Malaysia, terutama kawan-kawan saya di UMS sangat ramah dan mereka pun sangat sabar menemani kami dalam berbagai kegiatan yang harus kami ikuti

Berbagai kegiatan yang telah dirancang saya jalani dalam jangka waktu dua minggu, waktu yang cukup singkat jika dibandingkan dengan padatnya kegiatan yang harus diikuti, mulai dari pertukaran budaya, sit in class, lawatan-lawatan, home stay, dll. Semua kegiatan itu cukup menguras tenaga dan pikiran saya. Namun ditengah-tengah keletihan saya, ada secercah kebanggaan yang menyelinap di dalam diri. Kebanggan tersebut adalah, saya bangga menjadi orang Indonesia. Saya bangga dengan semua yang dimiliki oleh Indonesia. Walaupun ditengah carut marutnya keadaan bangsa ini dan juga krisis multidimendi yang tidak kunjung usai, saya tetap bangga menjadi orang Indonesia.


Ternyata kita akan lebih merasakan benar-benar menjadi orang Indonesia saat kita berada di negeri orang… I love Indonesia…


confusing something?

Posted on 06.46
Antara homesick,, KKP dan malaysia...

Antara jati diri,, kodrat dan aktualisasi diri...

Antara masa lalu,, sekarang dan masa depan...

Antara perasaan,, gengsi dan realita...

Finally,, selesai juga UAS...

Posted on 03.02
Akhirnya....

penderitaanku semester 6 ini berakhir...

tadi ujian terakhir,, Manajemen Keuangan Konsumen... walopun cuman 6 bab, tapi bahannya segebog-gebog n cukup ampuh bikin kumat migrainku...

and the result is... eng,ing,eng....

kita lihat aja nanti di transkrip,,ok? ;p

Wish all the best for me... :)

YEA (Young Entrepeneur Award) 2008

Posted on 00.24

HOLIDAY CAMPING FOR CHILDREN


Deskripsi Umum Usaha


Liburan merupakan saat yang paling ditunggu-tunggu oleh semua orang, terutama anak-anak. Hal tersebut dikarenakan pada saat liburan kita dapat terbebas dari segala tugas yang harus dikerjakan. Selain itu, pada saat liburan, umumnya kegiatan-kegiatan yang dilakukan merupakan kegiatan yang menyenangkan.


Banyak kegiatan yang dapat dilakukan orang untuk mengisi liburannya. Ada yang berekreasi ke tempat-tempat wisata yang ada di dalam negeri sampai luar negeri, ada yang menghabiskan waktu liburan dengan berbelanja, dan ada pula yang hanya di rumah saja mengisi liburan dengan istirahat. Kegiatan-kegiatan tersebut tidak hanya dilakukan oleh orang dewasa, tetapi juga anak-anak.


Masa liburan sekolah merupakan masa yang paling menyenangkan bagi anak-anak. Pada masa liburan mereka terbebas dari kegiatan belajar dari rutinitas sekolah yang seringkali melelahkan, dan cenderung membosankan bagi anak-anak. Layaknya orang dewasa, anak-anak mengisi liburan dengan beragam kegiatan, ada yang liburan di rumah nenek di kampung dan ada pula yang hanya menghabiskan waktu liburan di rumah saja, misalkan dengan bermain Play Station (PS) sepuasnya. Menghabiskan waktu liburan di rumah dengan bermain PS sepuasnya kurang baik bagi anak-anak karena bisa membuat mereka kehilangan semangat belajar pada saat kembali ke sekolah lagi. Selain bermain play station, anak yang tidak memiliki kegiatan untuk mengisi liburannya umumnya mereka akan berjalan-jalan ke mall walaupun hanya sekedar ”cuci mata”. Berjalan-jalan ke mall walaupun hanya sekedar ”cuci mata” dapat menumbuhkan karakter yang kurang baik bagi anak, yaitu anak akan memiliki sifat konsumtif yang berakibat anak dapat melakukan segala cara untuk memenuhi keinginannya. Ironisnya, orang tua tidak mempunyai pilihan lain untuk mengisi liburan anak, terutama orang tua di perkotaan karena sebagian besar dari mereka tidak dapat menemani anak berlibur disebabkan oleh tuntutan pekerjaan dan minimnya cuti yang dimiliki untuk bisa berlibur saat anak libur sekolah. Oleh sebab itu, perlu adanya suatu program liburan yang dikhususkan untuk mengisi liburan anak-anak.


optimis atau ambisius

Posted on 04.55
ada argumen yang bisa menjelaskan perbedaan mendasar dua kata itu?

karena menurut saya,, saya adalah orang yang selalu optimis...

akan tetapi menurut sebagian orang lain,, saya adalah orang yang ambisius...

menurut anda??


PENDIDIKAN HOLISTIK BERBASIS KEARIFAN LOKAL PADA KTSP (KURIKULUM TINGKAT SATUAN PENDIDIKAN): JAWABAN MENINGKATKAN SOCIAL CAPITAL INDONESIA DAN DAYA SAING BANGSA


Disusun oleh:


Okvina Nur Alvita


Gina Ginanjarsari


Ahmad Alam



RINGKASAN


Millennium Development Goals atau disingkat MDG's adalah sebuah inisiatif pembangunan yang dibentuk pada tahun 2000, oleh perwakilan-perwakilan dari 189 negara dengan menandantangani deklarasi yang disebut sebagai millennium declaration. Millennium Declaration ini mengandung 8 poin yang harus dicapai sebelum tahun 2015. MDG’s poin ke dua adalah Achieve Universal Primary Education atau dalam terjemahan bebas bahasa Indonesianya adalah pendidikan untuk semua. Terkait dengan poin ke dua dari MDG’s yang harus dicapai oleh negara-negara yang menandatangani deklarasi tersebut, termasuk Indonesia, maka pemerataan pendidikan di Indonesia menjadi sorotan penting untuk dapat mencapai MDG’s.


Berdasarkan Human Development Report dari UNDP, Human Development Index (HDI) Indonesia tahun 2007/2008 menempati peringkat 107, dua peringkat di bawah Vietnam. Indikator dari HDI meliputi pendapatan perkapita, akses terhadap pendidikan dan akses terhadap kesehatan. Artinya, dengan peringkat HDI Indonesia tahun 2007/2008 tersebut dapat memberikan gambaran pada kita bahwa masih banyak “PR” yang harus diselesaikan untuk mencapai MDG’s.


Peringkat Indonesia pada HDI dapat menjadi suatu indikator dari kualitas pendidikan di Indonesia. Peringkat Indonesia yang hanya menempati angka 107 memberikan gambaran bagi kita bahwa kualitas pendidikan di Indonesia masih rendah. Terkait dengan hal tersebut maka dalam sistem pendidikan di Indonesia masih banyak hal yang harus dibenahi. Pemerintah telah melakukan beberapa perbaikan pada sistem pendidikan yang berlaku saat ini, salah satunya dengan memberlakukan kurikulum baru sejak tahun 2006.


Kurikulum yang saat ini berlaku di Indonesia adalah Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Implementasi KTSP menemui berbagai permasalahan. Permasalahan yang umumnya dihadapi dalam mengimplementasikan KTSP antara lain: keterbatasan kualitas sumber daya manusia, kurangnya sarana dan prasarana yang mendukung, kurangnya sosialisasi yang dilakukan oleh pemerintah. Kendala tersebut membuat KTSP belum berajalan sebagaimana mestinya. Banyak sekolah-sekolah yang menerapkan KTSP tanpa pengetahuan yang cukup. Hal tersebut tentu harus dicari solusinya, karena pada hakekatnya KTSP merupakan kurikulum yang telah terintegrasi. Hanya saja dalam implementasi di lapangan menemui banyak kendala. Untuk mengatasi permasalahan tersebut maka dalam implementasi KTSP salah satu solusinya yakni dengan menerapkan metode pembelajaran menggunakan konsep “Pendidikan Holistik Berbasis Kearifan Lokal”.


Pendidikan holistik berbasis kearifan lokal menggabungkan konsep pendidikan holistik dengan konsep kearifan lokal. Model pendidikan seperti ini mampu menumbuhkan beberapa unsur penopang social capital, diantaranya adalah kemandirian dan tunggung jawab, kejujuran/amanah, kepemimpinan dan keadilan, kepedulian dan kasih sayang. rendah hati dan baik hati, partisipasi dan apresiasi, merumuskan suatu kesepakatan untuk memecahkan suatu permasalahan, kerjasama. Social capital sangat berkaitan dengan kualitas sumberdaya manusia. Social capital tersebut digunakan oleh suatu bangsa untuk meningkatkan daya saingnya pada era globalisasi karena hanya kualitas sumberdaya manusialah yang mampu menjawab tantangan bangsa di era mendatang.


Fukuyama (2007) dalam bukunya yang berjudul Trust: Kebajikan Sosial dan Penciptaan Kemakmuran menyatakan bahwa hanya negara-negara yang memiliki trust (social capital) tinggi-lah yang mampu bersaing pada era globalisasi mendatang. Oleh sebab itu, sangat penting menumbuhkan dan meningkatkan social capital Indonesia sebagai modal bangsa Indonesia untuk bersaing di kancah internasional dan mencapai Millennium Development Goals (MDG's), salah satu caranya melalui “Pendidikan Holistik Berbasis Kearifan Lokal”.


Fiuuuhhhh....

hanya ada satu kata yang bisa menggambarkan apa yang saya rasakan saat ini

CAPEK....

sama seperti permasalahan2 sebelumnya,, 24 jan terasa sangat kurang untuk saya...

saat ini saya sedang menangani beberapa kegiatan:

  1. kuliah 18sks (Alhamdulillah semester ini tinggal 18 sks karena saya sudah ambil banyak sks di awal)

  2. sekretaris departemen komunikasi dan informasi BEM KM IPB

  3. asisten dosen praktikum Perilaku Konsumen

  4. les bahasa jerman

  5. les TOEFL

  6. les biola (tapi sekarang lagi off)


itu kegiatan rutin,, masih ada lagi kegiatan tambahan,,seperti tawaran jadi mc,, jualan pulsa,, dan ikutan lomba-lomba (lumayan lah,, itung2 buat nambah uang saku!!)

semua kesibukan itu membuat saya tidak memiliki waktu yang cukup untuk melakukan aktivitas yang kurang menjadi prioritas,, sudah lama saya tidak curhat di blog...

sekarang pukul 21.45 saya masih di warnet untuk cari bahan tugas mata kuliah pendidikan holistik yang harus dikumpulkan besok (masih belom lagi harus membereskan beberapa administrasi Kominfo dan administrasi pribadi),, sebelumnya saya ada rapat pimpinan BEM dan sebelumnya lagi saya kuliah sampai pukul 19.00 dan sebelumnya lagi.... bisa panjang kalo ditulis semua kegiatan saya selama sehari tadi!

saya cuma berharap satu hal,, semoga Allah selalu menjaga saya, baik hati dan fisik... saya tidak mau sakit lagi (karena sakit menjadi tidak produktif) dan saya tidak mau terjangkit penyakit hati... Amien....


KASUS KEKERASAN TERHADAP ANAK SMP DAN SMA YANG TERJADI DI SEKOLAH DAN KAITANNYA DENGAN KONSEP SEKOLAH RAMAH ANAK DI KOTA BOGOR


 


Okvina N. Alvita, Endah PL, Esti R, Khairunnisa NF, Lusiana PR


Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen, Fakultas Ekologi Manusia IPB


ABSTRAK. Sekolah merupakan salah satu institusi di luar keluarga yang sangat berperan dalam mendidik dan membentuk karakter anak. Peran guru sangat penting dalam membentuk karakter anak dan menginternalisasikan nilai-nilai moral pada anak. Seperti halnya orang tua, guru di sekolah selain bertugas untuk mengajar, juga memiliki peran sebagai pengganti orang tua dalam mendidik siswa-siswinya. Dalam menjalankan fungsinya tersebut, guru dituntut untuk mengayomi semua siswanya. Namun, dalam mendidik siswa-siswinya, terutama dalam hal disiplin, seringkali guru memperlakukan siswa dengan kasar atau melakukan kekerasan terhadap siswa. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui adanya kasus kekerasan terhadap anak SMP dan SMA yang terjadi dan kaitannya dengan konsep sekolah ramah anak di Kota Bogor. Pengumpulan data dilakukan dengan metode survai melalui wawancara menggunakan kuesioner pada 200 orang sampel yang mecakup 100 orang siswa SMP dan 100 orang siswa SMA. Penentuan sampel dilakukan secara convenience sampling. Berbagai kasus kekerasan verbal maupun non verbal (fisik) masih menjadi satu budaya di sekolah. Bentuk kekerasan verbal adalah memarahi atau menghina siswa di depan teman lain, sedangkan bentuk kekerasan non verbal (fisik) diantaranya adalah disuruh lari, push up, dijemur, dijewer dan ditampar dengan pelaku guru/kepala sekolah. Sekolah belum menerapkan konsep sekolah ramah anak dalam mendisiplinkan siswanya. Dengan demikian diperlukan political will dari pemerintah untuk membuat Undang-Undang sekolah ramah anak dan tindakan kongkret dari guru/kepala sekolah dalam mengimplementasikannya.



Analisis Sistem Evaluasi Hasil Belajar Siswa


yang Menghambat Pengembangan Karakter Siswa SMA


(Studi Kasus: SMAN 65 Jakarta)


 Disusun oleh:


Okvina Nur Alvita


 



Latar Belakang


Beberapa tahun berturut-turut peringkat Indonesia dalam Human Development Index (HDI) menempati posisi pada urutan bawah. HDI Indonesia tahun 2006 berada pada posisi 108 dari 177 negara (UNDP, 2006). Hal tersebut menunjukkan rendahnya kualitas SDM Indonesia. Salah satu faktor yang menentukan kualitas SDM adalah pendidikan. Kenyataan bahwa Indonesia menempati posisi bawah dalam HDI menunjukkan lemahnya manajemen sistem pendidikan di Indonesia.


Selama berpuluh-puluh tahun banyak kekurangan yang ada dalam  sistem pendidikan di Indonesia. Kekurangan tersebut antara lain: terlalu berorientasi pada aspek akademis, teacher oriented, kurikulum yang terlalu berat, rasio guru dan murid yang tidak sesuai, dan aplikasi metode pendidikan yang digunakan kurang sesuai dengan tahapan perkembangan usia anak (Alvita, 2007). Akibatnya, SDM yang dihasilkan bukanlah SDM yang handal, namun sebaliknya SDM yang dihasilkan adalah generasi yang tidak percaya diri (apalagi kalau divonis dengan sistem rangking di sekolah), tidak bisa bekerja, tidak terampil, dan tidak berkarakter (Megawangi, et. al., 2005). Maka tidak heran jika mutu SDM Indonesia dalam HDI berada jauh dibawah Malaysia, Thailand, Filipina, dan terutama Singapura yang telah masuk dalam kategori high human development (UNDP, 2006).


Rendahnya HDI Indonesia yang berkorelasi dengan adanya kekurangan pada sistem pendidikan di Indonesia harus dibenahi. Selama ini karena tujuan pendidikan diarahkan untuk mencetak anak padai secara kognitif (yang menekankan pengembangan otak kiri saja dan hanya meliputi aspek bahasa dan logis matematis), maka banyak materi pelajaran yang berkaitan dengan pengembangan otak kanan (seperti kesenian, musik, imajinasi, dan pembentukan karakter) kurang mendapatkan perhatian (Megawangi, et. al., 2005). Padahal untuk menghasilkan SDM yang handal, salah satu syaratnya adalah karakter dari masing-masing individu haruslah baik. Hal ini menjadi suatu tantangan tersendiri bagi sekolah dan guru untuk memasukkan nilai-nilai budi pekerti dalam membentuk karakter yang kuat pada siswanya. Permasalahan yang dihadapi saat ini adalah sistem pendidikan yang ada kurang mendukung keleluasaan guru dalam memasukkan nilai-nilai karakter pada siswanya. Selain itu, keterampilan dan kekreatifan guru dalam memasukkan nilai-nilai karakter melalui pelajaran di sekolah pun patut untuk dipertanyakan karena selama ini guru cenderung hanya menuntaskan materi yang harus diajarkan pada siswa.


Permasalahan yang ada seputar sistem pendidikan yang berlaku di Indonesia telah menjadi suatu bahan yang hangat untuk diperbincangkan, terutama bagi kalangan yang concern pada dunia pendidikan di Indonesia. Selain itu, karena pendidikan memegang peranan penting dalam mencetak kualitas SDM Indonesia, yang nantinya akan menentukan perkembangan bangsa ini. Diperlukan suatu solusi untuk mengatasi permasalahan pendidikan di Indonesia melalui terobosan baru dalam sistem pendidikannya. Oleh sebab itu, pemerintah melalui Departemen Pendidikan Nasional melakukan beberapa perubahan dalam jangka waktu kurang lebih empat tahun terakhir ini agar dapat memberikan perubahan pada output dari pendidikan yang selama ini hanya mampu mencetak SDM pada posisi bawah HDI.


Perubahan yang dilakukan pada sistem pendidikan di Indonesia dilakukan melalui kurikulum yang berlaku. Sejak tahun 2004 dunia pendidikan Indonesia menerapkan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) yang dipayungi oleh Manajemen Berbasis Sekolah (MBS). Namun pada tahun ajaran 2006/2007 Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) diberlakukan menggantikan KBK 2004 (http://id.wikipedia.org/wiki/Kurikulum_Tingkat_Satuan_Pendidikan).


KTSP yang berlaku sejak tahun 2006 diharapkan dapat menyempurnakan sistem pendidikan yang ada sebelumnya di Indonesia (Kurikulum 1994 dan KBK 2004) serta mampu menjawab permasalahan pendidikan yang selama ini menjadi polemik dalam dunia pendidikan Indonesia. Akan tetapi semua hal tersebut tidak akan berarti jika implementasi di lapangan tidak mengalami perubahan dari sistem pendidikan dan kurikulum yang ada sebelumnya.


 


Perumusan Masalah


Sistem pendidikan yang berlaku di Indonesia saat ini mengacu pada Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). KTSP merupakan penyempurnaan dari Kurikulum 2004 (KBK) adalah kurikulum operasional yang disusun dan dilaksanakan oleh masing-masing satuan pendidikan/sekolah (Muslich, 2007). KTSP yang dipercayakan pada setiap tingkat satuan pendidikan hampir senada dengan prinsip implementasi KBK, perlu dipayungi oleh Manajemen Berbasis Sekolah (MBS). Artinya, hal tersebut merupakan pelimpahan wewenang yang besar kepada sekolah untuk memperbaiki mutu pendidikannya, baik dengan menyusun dan mengembangkan kurikulum, maupun dengan mendorong guru untuk berinovasi, dan mengajak partisipasi masyarakat (Megawangi, 2007).


KTSP yang saat ini berlaku pada sistem pendidikan di Indonesia memberikan keleluasaan bagi sekolah untuk “meramu” sendiri, mulai dari metode belajar mengajar hingga sistem penilaian evaluasi belajar siswanya. Kondisi tersebut merupakan tantangan tersendiri bagi sekolah untuk menghasilkan generasi yang berkualitas dengan mengoptimalkan semua sumberdaya yang dimiliki oleh sekolah.


Baru-baru ini beberapa SMA di Jakarta telah melaksanakan evaluasi hasil belajar siswa. Studi kasus pada SMAN 65 Jakarta dalam pengimplementasian KTSP pada sistem evaluasi belajar siswa dapat dikatakan tidak sesuai dengan Developmentally Appropriate Practices dan cenderung melanggar hak anak. Berkenaan dengan hal tersebut, maka permasalahan yang akan dikaji adalah:


1.      Bagaimana kriteria sekolah yang ideal sebagai tempat belajar yang kondusif untuk siswa, sehingga siswa dapat mengembangkan karakternya?


2.      Bagaimana sistem penilaian kelas pada KTSP?


3.      Bagaimana sistem evaluasi belajar siswa di SMAN 65 Jakarta?


4.      Apa dampak sistem evaluasi belajar di SMAN 65 Jakarta pada siswa?


5.      Karakter apa yang dapat terbentuk pada siswa melalui sistem evaluasi belajar siswa (studi kasus: SMAN 65 Jakarta)?


6.      Apa upaya yang dapat dilakukan oleh sekolah dalam menghadapi tantangan yang ada dalam pengimplementasian KTSP sekaligus dalam mengembangkan karakter siswa?


Tujuan


 


Tujuan dari penulisan makalah ini adalah:


1.      Untuk mengetahui kriteria sekolah yang ideal sebagai tempat belajar yang kondusif untuk siswa, sehingga siswa dapat mengembangkan karakternya.


2.      Untuk mengetahui sistem penilaian kelas pada KTSP.


3.      Untuk mengetahui sistem evaluasi belajar siswa di SMAN 65 Jakarta.


4.      Untuk mengetahui dampak sistem evaluasi belajar di SMAN 65 Jakarta pada siswa.


5.      Untuk mengetahui karakter apa yang dapat terbentuk pada siswa melalui sistem evaluasi belajar siswa (studi kasus: SMAN 65 Jakarta).


6.      Untuk mengetahui upaya yang dapat dilakukan oleh sekolah dalam menghadapi tantangan yang ada dalam pengimplementasian KTSP sekaligus dalam mengembangkan karakter siswa.


 


Pembahasan


Filosofi pendidikan yang dikemukakan oleh Socrates dalam Megawangi (2007) pada 2400 tahun yang lalu yaitu untuk membentuk seseorang menjadi good and smart. Good dalam aspek karakter dan smart dalam aspek intelektualitas, atau manusia yang baik dan bijak, yakni orang yang dapat menggunakan kepandaiannya kepada hal-hal yang baik. Akan tetapi jika kita melihat sistem pendidikan saat ini mungkin telah menyalahi filosofi pendidikan Socrates (Megawangi, 2007).


Untuk membentuk individu yang good and smart diperlukan sistem pendidikan yang menyenangkan bagi peserta didiknya, sehingga anak mampu mengembangkan seluruh potensi yang ada dalam dirinya. Potensi yang ada dalam diri manusia meliputi potensi akademik, potensi fisik, potensi sosial, potensi kreatif, potensi emosi dan potensi spiritual (Megawangi, et. al., 2005). Manusia yang mampu mengembangkan seluruh potensinya merupakan manusia yang holistik, yaitu manusia pembelajar sejati yang selalu menyadari bahwa dirinya adalah bagian dari sebuah sistem kehidupan yang luas, sehingga selalu ingin memberikan kontribusi positif kepada lingkungan hidupnya (Megawangi, et. al., 2005). Tujuan pendidikan di Indonesia yang tertuang pada Undang-Undang Republik Indonesia nomor 20 tahun 2003 adalah untuk membentuk manusia yang holistik dan berkarakter (Megawangi, et. al., 2005). Manusia holistik dan berkarakter merupakan human capital untuk bagi perkembangan suatu bangsa. Pertanyaannya sekarang adalah, bagaimana cara yang dapat ditempuh untuk menghasilkan manusia holistik dan berkarakter? Kita akan memulai pembahasan dengan apa saja yang dibutuhkan oleh sekolah agar menjadi sekolah yang “ideal”.


Kriteria Sekolah “Ideal”


Sekolah yang ideal merupakan sekolah yang kondusif dan menyenangkan bagi siswanya untuk belajar. Suasana yang kondusif dan menyenangkan memungkinkan siswa untuk dapat mengembangkan seluruh potensi yang ada dalam dirinya. Merujuk pada pendapat Megawangi, et. al (2005), sekolah dapat dikatakan ideal bagi siswa untuk menerima kegiatan belajar mengajar apabila memenuhi kriteria sebagai berikut:


Student Active Learning


Partisipasi aktif anak dalam proses belajar merupakan hal yang sangat vital dan dapat dikatakan sebagai “jantung” dari proses belajar yang efektif. Anak pada dasarnya mempunyai rasa keingintahuan yang besar sekali sehingga mendorong untuk selalu bertanya. Anak harus dilibatkan secara langsung dalam proses belajar dengan menunjukkan objek-objek secara kongkrit dan dirangsang rasa keingintahuannya melalui diskusi kelas. Jadi, anak mengalami secara langsung semua hal yang dipelajarinya, dan tidak hanya mendengarkan guru (teacher oriented) yang membuat anak menjadi pasif, sehingga segala sesuatu yang diperoleh anak dalam proses belajar mengajar akan bertahan lama dan dapat diimplementasikan pada kehidupan sehari-harinya. Adanya keterlibatan langsung anak dalam proses belajar melalui pemberian pengalaman yang kongkret maka akan membentuk kesadaran yang dapat memberikan manfaat langsung dan memberikan makna hakiki pada anak. Selain itu, kesadaran dapat ditumbuhkan melalui apresiasi terhadap keindahan, kekaguman tentang alam, dan perbuatan kebajikan. Hal ini juga dapat dilakukan dengan mendidik anak untuk merasakan, baik melalui perenungan ataupun melalui tindakan yang bermanfaat dan merasakan kebenaran dari tindakan tersebut. Disamping semua itu, hal terpenting yang dapat ditumbuhkan dari proses belajar aktif adalah dapat meningkatkan kemampuan fisik, kreatifitas, emosi, sosial, spiritual, dan akademik. Dari uraian tersebut, maka secara tidak langsung akan terbentuk good character pada anak.


Developmentally Appropriate Practicess (DAP)


DAP atau dalam terjemahan bebas Bahasa Indonesia adalah pendidikan yang patut dan menyenangkan sesuai dengan tahapan perkembangan anak, mencerminkan proses pembelajaran yang bersifat interaktif. Konsep DAP yang dikembangkan melalui baragam kegiatan yang sesuai dengan tahapan perkembangan anak menyebabkan anak memiliki pengalaman yang kongkret serta menyenangkan saat terjadinya proses belajar, sehingga dapat menumbuhkan kesadaran (awareness) pada anak.


Collaborative Learning


Collaborative learning adalah metode yang melibatkan siswa dalam diskusi dalam upaya untuk mencari jawaban atau sebuah solusi yang sedang dipelajari. Implementasi collaborative learning dapat dilakukan metode cooperative learning, yaitu siswa bekerja bersama-sama, berhadapan muka dalam kelompok kecil dan melakukan tugas yang sudah terstruktur. Terdapat beberapa keuntungan dengan mengaplikasikan cooperative learning, diantaranya adalah siswa belajar bagaimana mengelola kelompok (termasuk juga mengelola konflik), siswa dapat berpartisipasi aktif dengan mencelupkan anak pada kegiatan yang mengasyikkan, siswa dapat menjadi guru bagi kawannya, penghargaan diberikan pada setiap individu karena semua kontribusi yang diberikan oleh masing individu dihargai, siswa dapat melihar perspektif yang lebih lengkap dengan berdiskusi antar sesama kawan yang dapat pula mengembangkan kemampuan interpersonalnya.


 


Multiple Intelligences


Gardner (2003) menyebutkan bahwa terdapat tujuh kecerdasan pada diri manusia, yaitu: kecerdasan musik, kecerdasan gerakan-badan, kecerdasan logika-matematika, kecerdasan linguistik, kecerdasan ruang, kecerdasan antar pribadi, kecerdasan intra pribadi. Sekolah yang ideal adalah sekolah yang mampu mengembangkan kecerdasan yang ada pada diri tiap individu dengan menghargai segala keunikan dan perbedaannya. Apabila sekolah mampu mengembangkan satu saja aspek kecerdasan yang ada pada diri siswanya (namun dilakukan secara optimal), maka dapat terbentuk individu yang benar-benar cerdas di bidangnya karena ia melakukan sesuatu yang sesuai dengan keinginan dan minatnya.


Apabila semua kriteria sekolah ideal dilaksanakan oleh sekolah maka anak akan mendapatkan pengalaman belajar yang efektif dan menyenangkan, serta dapat mengembangkan seluruh aspek dimensi manusia secara holistik.


 


Sistem Penilaian Kelas pada KTSP


Penilaian kelas merupakan proses pengumpulan dan penggunaan informasi oleh guru untuk pemberian keputusan terhadap hasil belajar siswa berdasarkan tahapan kemajuan belajarnya sehingga didapatkan potret atau profil kemampuan siswa sesuai dengan kompetensi yang ditetapkan dalam kurikulum (Muslich, 2007). Muslich (2007) menyebutkan bahwa ada beberapa bentuk dan teknik yang bisa dilakukan dalam penilaian kelas, yaitu:


1.      penilaian kinerja (performance)


2.      penilaian penugasan (project)


3.      penilaian hasil kerja (product)


4.      penilaian tes tertulis (paper & pen)


5.      penilaian portofolio (portofolio)


6.      penilaian sikap


Paper ini akan membahas metode yang digunakan oleh sekolah dalam penilaian tes tertulis, maka pembahasan pada bagian ini hanya dikhususkan pada penilaian tes tertulis saja. Penilaian tes secara tertulis dilakukan dengan tes tertulis. Tes tertulis merupakan tes dimana soal dan jawaban yang diberikan kepada peserta didik dalam bentuk tulisan (Muslich, 2007). Contoh penilaian tertulis tipe objektif antara lain: jawaban benar-salah, isian singkat, pilihan ganda, menjodohkan. Sedangkan contoh penilaian tertulis tipe subjektif antara lain: pengerjaan soal, latihan, membaca pemahaman, esai terstruktur, esai bebas.


 


Sistem Evaluasi Belajar Siswa di SMAN 65 Jakarta


Evaluasi belajar siswa umumnya secara serentak dilaksanakan pada tiap sekolah pada akhir semester kegiatan belajar mengajar. Begitu juga yang terjadi di SMAN 65 Jakarta. Evaluasi belajar siswa yang dilaksanakan di akhir semester dilakukan dengan metode penilaian tes tertulis.


KTSP merupakan kurikulum operasional yang disusun dan dilaksanakan oleh masing-masing satuan pendidikan/sekolah (Muslich, 2007). Karena disusun dan dilaksanakan oleh masing-masing satuan pendidikan/sekolah maka dalam implementasinya sekolah diberi kewenangan untuk menyusun metode pembelajaran, termasuk sistem evaluasi belajar siswa. Evaluasi belajar siswa (ujian) pada SMAN 65 Jakarta hanya dilaksanakan selama lima hari, terhitung mulai hari Senin hingga Jumat. Dalam lima hari ujian, terdapat 12-14 mata pelajaran (ada perbedaan jumlah mata pelajaran dari masing-masing tingkat kelas) yang harus diselesaikan oleh siswa. Akibatnya adalah ada beberapa hari ujian yang harus dilalui siswa dengan 3 mata pelajaran yang harus diujiankan.


 


Dampak Sistem Evaluasi Belajar Siswa di SMAN 65 Jakarta


Penulis telah melakukan penelitian pada 16 siswa SMAN 65 Jakarta mengenai hal yang terkait dengan sistem evaluasi belajar siswa serta apa dampak yang ditimbulkan pada siswa. Sebanyak 14 siswa dari 16 siswa atau 87,5% siswa merasa keberatan dengan sistem evaluasi belajar dimana siswa harus mengikuti 3 mata pelajaran yang diujiankan dalam satu hari. Dampaknya pada siswa adalah siswa akan mengalami stress. Dari 16 siswa, 15 siswa atau 93,75% siswa mengalami stress karena sistem evaluasi hasil belajar yang diterapkan di sekolahnya. Artinya sebagian besar siswa keberatan dengan adanya ujian tiga mata pelajaran dalam satu hari serta dampak yang ditimbulkan dari sistem yang berlaku tersebut adalah siswa mengalami stress.


Membebankan siswa tiga mata pelajaran dalam satu hari ujian bukan merupakan hal yang manusiawi. Tidak semua siswa memiliki potensi akademis yang sama. Teori kurva bel yang dijelaskan oleh Megawangi (2004), menunjukkan sebaran normal pada distribusi kecerdasan intelektual pada seluruh manusia yang ada di muka bumi. Artinya, individu yang memiliki IQ di atas 115 tidak lebih dari 15% penduduk, begitu pula dengan penduduk yang memiliki tingkat kecerdasan rendah (dibawah 85) hanya berjumlah 15%. Sisanya adalah penduduk yang memiliki tingkat kecerdasan rata-rata, yakni berkisar antara 85-115. Sistem evaluasi belajar siswa yang diberlakukan pada SMAN 65 Jakarta mungkin hanya tepat untuk siswa 15% teratas, lalu pertanyaannya sekarang adalah, bagaimana dengan siswa yang memiliki kecerdasan 85% sisanya? Mereka akan mengalami stress. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh penulis, lebih dari 85% siswa mengalami stress. Hal tersebut mengindikasikan bahwa siswa yang termasuk dalam kategori 15% teratas pun dapat mengalami stress dengan sistem evaluasi hasil belajar yang tidak sesuai Developmentally Appropriate Practices.


Umumnya sekolah hanya mengujiankan dua mata pelajaran saja dalam satu hari. Kebijakan yang diambil oleh SMAN 65 Jakarta dengan memberlakukan tiga mata pelajaran dalam satu hari ujian telah melanggar hak anak. Hak anak yang dilanggar adalah dengan memberikan metode pendidikan yang tidak menyenangkan pada anak sehingga anak mengalami stress. Dalam keadaan stress atau under pressure umumnya manusia tidak bisa melakukan segala sesuatu secara optimal, termasuk belajar untuk menyiapkan ujian. Akibat yang dapat ditimbulkan dari keadaan ini adalah dapat memicu perilaku negatif pada siswa yang dapat mempengaruhi karakternya. Perilaku apa saja yang dapat terjadi serta karakter apa yang dapat terbetuk pada siswa akan dijelaskan pada bagian selanjutnya.


 


 


Karakter yang Dapat Terbentuk pada Siswa Melalui Sistem Evaluasi Belajar Siswa


Dampak yang ditimbulkan dari sistem evaluasi belajar siswa dengan tiga mata pelajaran dalam satu hari ujian adalah stress pada siswa. Dalam keadaan stress atau under pressure umumnya manusia tidak bisa melakukan segala sesuatu secara optimal, termasuk belajar untuk menyiapkan ujian. Akibat yang dapat ditimbulkan dari keadaan ini adalah dapat memicu perilaku negatif. Pada taraf tertentu perilaku negatif tersebut akan “mendarah daging” pada siswa sehingga dapat mempengaruhi karakternya.


Perilaku negatif yang timbul akibat tekanan tiga mata pelajaran dalam satu hari ujian adalah dapat mendorong anak untuk melakukan tindakan curang pada saat ujian. Tindakan curang tersebut antara lain: “bekerjasama” dalam mengerjakan soal dengan temannya, mencontek, melihat jawaban teman, dan perilaku tidak jujur lainnya.


Tindakan negatif yang dilakukan oleh siswa pada saat ujian dapat diketahui dari komentar beberapa siswa tentang ujian yang telah berlangsung. Ada yang menuliskan “jangan membuat hal-hal yang mencurigakan (kalo bikin contekan)”, komentar lain menuliskan “pengawas yang berlebihan menyebabkan ketegangan dalam menghadapi ujian”. Pernyataan-pernyataan siswa tersebut dapat memberikan gambaran secara jelas bahwa telah terjadi perilaku negatif siswa pada saat ujian. Selain itu, sistem evaluasi belajar siswa seperti yang terjadi pada SMAN 65 Jakarta dapat mengubah orientasi belajar siswa. Orientasi belajar siswa bukan lagi untuk memperoleh ilmu, tetapi hanya semata-mata untuk mendapatkan nilai yang tinggi atau hanya sekedar memenuhi batas kelulusan (supaya tidak mengikuti remedial). Akibatnya, apabila orientasi siswa hanya untuk mendapatkan nilai maka karakter yang akan terbentuk padanya adalah ia akan melakukan segala cara untuk mencapai apa yang ia inginkan, tentunya cara-cara yang dilakukannya bukanlah cara yang baik. Saat dewasa, karakter yang terbentuk sejak di bangku sekolah akan termanifestasi pada perilaku menipu, korupsi, kolusi, nepotisme, menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuannya (kepentingan pribadi).


Sekolah sebagai salah satu institusi yang bertanggung jawab dalam pembentukan karakter anak sudah tidak dapat dipertanggungjawabkan lagi kredibilitasnya. Jika keadaan sudah demikian parah, maka tujuan pendidikan yang tertuang dalam UU No. 20 tahun 2003, untuk membentuk manusia yang holistic dan berkarakter tidak akan dapat terwujud. Pendapat Megawangi (2007) pun benar, bahwa sistem pendidikan saat ini telah menyalahi filosofi pendidikan Socrates 2400 tahun yang lalu, yaitu pendidikan untuk membentuk manusia yang good and smart. Good dalam karakter dan smart dalam intelektual. Bisa jadi dengan sistem evaluasi hasil belajar seperti yang terjadi pada SMAN 65 Jakarta, pendidikan di Indonesia tidak mampu mengembangkan filosofi dasar pendidikan seperti yang disebutkan oleh Socrates.


Jika dampak yang dapat ditimbulkan hanya dengan satu masalah (sistem evaluasi hasil belajar yang tidak tepat) dapat demikian hebat di masa yang akan datang dan mampu menggoyahkan stabilitas bangsa, maka apa yang dapat diupayakan oleh sekolah untuk meminimalisir kemungkinan tersebut?


 


Upaya yang Dapat Dilakukan oleh Sekolah dalam Menghadapi Tantangan Pengimplementasian KTSP Sekaligus dalam Mengembangkan Karakter Siswa


KTSP yang dipercayakan pada setiap tingkat satuan pendidikan hampir senada dengan prinsip implementasi KBK, perlu dipayungi oleh Manajemen Berbasis Sekolah (MBS). Artinya, hal tersebut merupakan pelimpahan wewenang yang besar kepada sekolah untuk memperbaiki mutu pendidikannya, baik dengan menyusun dan mengembangkan kurikulum, maupun dengan mendorong guru untuk berinovasi, dan mengajak partisipasi masyarakat (Megawangi, 2007). Menghadapi tantangan perubahan kurikulum yang tujuannya adalah untuk memudahkan sekolah untuk mengoptimalkan seluruh sumberdaya yang ada, upaya yang dapat dilakukan sekolah dalam mengimplementasikan KTSP sekaligus dalam mengembangkan karakter siswanya dapat ditempuh melalui cara sebagai berikut (Lickona dalam Megawangi,2004):


1.      Pendidikan karakter harus mengandung nilai-nilai yang dapat membentuk “Good Character”


2.      Pendidikan karakter harus didefinisikan secara menyeluruh yang termasuk aspek “Thinking,Feeling, dan Action”


3.      Pendidikan karakter yang efektif memerlukan pendekatan komprehensif, dan terfokus dari aspek guru sebagai “role model” disiplin sekolah, kurikulum, proses pembelajaran, manajemen kelas dan sekolah, integrasi materi karakter dalam seluruh aspek kehidupan kelas, kerjasama orang tua dan masyarakat, dan sebagainya.


4.      Sekolah harus menjadi model “masyarakat yang damai dan harmonis”. Sekolah merupakan miniature dari bagaimana seharusnya kehidupan di masyarakat, di mana masing-masing individu dapat saling menghormati, bertanggung jawab, saling peduli, dan adil. Hal ini dapat diciptakan dengan berbagai cara yang tersedia pada buku-buku petunjuk pendidikan karakter.


5.      Untuk mengembangkan karakter, para murid memerlukan kesempatan untuk mempraktekkannya; bagaimana berperilaku moral. Misalnya bagaimana berlatih untuk bekerja sosial (memberikan sumbangan ke panti asuhan, panti wreda, membersihkan lingkungan, dan sebagainya), menyelesaikan konflik, berlatih menjadi individu yang bertanggung jawab dan sebagainya.


6.      Pendidikan karakter yang efektif harus mengikutsertakan materi kurikulum yang berarti bagi kehidupan anak, atau berbasis kompetensi (life skills) sehingga anak merasa mampu menghadapi dan memecahkan masalah kehidupan.


7.      Pendidikan karakter harus membangkitkan motivasi internal dari diri anak, misalnya dengan membangkitkan rasa bersalah pada diri anak kalau mereka melakukan tindakan negatif, atau membangkitkan rasa empati agar anak sensitif terhadap kesulitan orang lain.


8.      Seluruh staf sekolah harus terlibat dalam pendidikan karakter. Peran kepala sekolah sangat besar dalam mobilisasi staf untuk menjadi bagian dari proses pendidikan karakter.


9.      Pendidikan karakter di sekolah memerlukan kepemimpinan moral dari berbagai pihak; pimpinan, staf, dan para guru.


10.  Sekolah harus bekerjasama dengan orang tua murid dan masyarakat sekitarnya.


11.  Harus ada evaluasi berkala mengenai keberhasilan pendidikan karakter di sekolah. Sekolah harus mempunyai standar keberhasilan dari pendidikan karakter, yang mencakup aspek bagaimana perkembangan guru/staf sebagai pendidik karakter, dan bagaimana perkembangan karakter murid-murid. Khusus untuk guru/staf sebagai model “person of character” adalah sangat krusial terhadap keberhasilan pendidikan karakter di sekolah. Oleh karena itu, pemahaman dan pelatihan kepada guru amat penting untuk dilakukan.


Dalam memasukkan nilai-nilai karakter pada siswa, hal yang tidak dapat dipisahkan adalah peran guru. Guru sebagai pendidik karakter harus mendapatkan pelatihan khusus, dan menggunakan modul atau kurikulum yang sudah tersedia untuk diterapkan di sekolahnya. Menurut Karen Bohlin, Deborah Farmer, dan Kevin Ryan dalam Megawangi (2004), ada tujuh kompetensi yang harus dimiliki oleh para pendidik atau guru karakter:


1.      Para pendidik haru dapat menjadikan dirinya sebagai contoh berkarakter yang baik dan mempunyai komitmen untuk menegakkan kebenaran


2.      Para pendidik harus mampu menjadikan tujuan pembentukan karakter muridnya sebagai suatu yang prioritas dan merupakan bagian terpenting dari pekerjaan profesionalnya


3.      Para pendidik harus senantiasa mengadakan diskusi tentang isu-isu moral dengan murid-muridnya, tentang bagaimana seharusnya menjalankan hidup, serta menjelaskan apa yang baik dan apa yang buruk.


4.      Para pendidik harus dapat menyampaikan secara diplomasi (bijak) mengenai posisinya pada isu-isu etika, tanpa harus membebani mereka dengan pendapat dan opini pribadi


5.      Para pendidik harus dapat mengajarkan empati terhadap orang lain, yaitu mengajaknya untuk keluar dari diri mereka dan melihat dari perspektif orang lain


6.      Para pendidik harus dapat menciptakan suasana kelas yang bernuansa karakter, yang menerapkan standar etika tinggi dan penghormatan untuk semua


7.      Para pendidik harus dapat membuat serangkaian aktivitas untuk mempraktekkan nilai-nilai karakter di rumah, di sekolah, dan di komunitas lingkungan, agar mereka bisa tumbuh menjadi manusia yang peduli untuk selalu melakukan kebajikan.


Dalam kasus sistem evaluasi belajar siswa, yang dapat dilakukan sekolah adalah dengan tidak hanya menerapkan sistem tes tertulis, namun juga bisa dilakukan dengan penilaian portofolio (puisi, karangan, gambar, makalah, laporan observasi), penilaian kinerja (wawancara, diskusi, debat, bercerita, bermain peran), penilaian produk (kerajinan tangan, patung, merajut, bazar), penilaian tingkah laku (skala sikap, kuesioner, ungkapan perasaan, penilaian diri, buku harian, pengamatan perilaku). Melalui sistem penilaian yang beragam tersebut diharapkan siswa mampu mengembangkan seluruh potensinya karena ada keterlibatan langsung siswa dalam setiap penilaian yang dilakukan, penilaian yang dilakukan juga bersifat kongkrit sehingga siswa lebih mampu memahami makna dari setiap penilaian. Selain itu, penilaian selain penilaian testertulis lebih mendorong siswa untuk berkerja bersama-sama dalam kelompok sehingga mampu mengembangkan softskill berupa team work.


 


Penutup


Permasalahan rendahnya kualitas SDM Indonesia yang terlihat dari rendahnya peringkat Indonesia dalam HDI 2006 menunjukkan harus ada yang dibenahi pada sistem pendidikan di Indonesia. pemerintah melalui Departemen Pendidikan Nasional telah melakukan perubahan pada sistem pendidikan dengan memberlakukan KTSP. Melalui sistem pendidikan yang baru, sekolah diberi keleluasaan untuk mengembangkan semua potensi yang dimiliki agar dapat dihasilhan generasi penerus bangsa yang berkualitas. Namun, perubahan tersebut tidak akan ada artinya jika implementasinya tidak sesuai dengan filosofi dasar pendidikan, yakni membentuk anak yang good dalam karakter dan smart dalam intelektualitas. Implementasi KTSP di SMAN 65 Jakarta pada sistem evaluasi hasil belajarnya dapat memberikan gambaran pada kita bagaimana ketidakmampuan sekolah dalam mengorganisir pengimplementasian KTSP. Sistem evaluasi hasil belajar pada SMAN 65 Jakarta justru menumbuhkan karakter yang buruk pada siswanya karena jadwal ujian yang sangat padat. Apabila hal tersebut dibiarkan, maka dapat menghambat pengembangan karakter yang baik pada siswa. Untuk mengatasi permasalahan tersebut pihak sekolah, guru, kurikulum dan juga metode pembelajaran harus terintegrasi dalam sekolah yang “ideal serta metode pendidikan yang diterapkan menganut pada konsep pendidikan holistik berbasis karakter. Hal ini dirasa penting untuk dilakukan agar output yang dihasilkan dari pendidikan di Indonesia adalah generasi/manusia yang holistik dan berkarakter yang mampu mengatasi segala permasalahan bangsa.


 


Daftar Pustaka


 


Alvita, O.N. 2007. Pendidikan Holistik Berbasis Karakter pada Anak Usia Prasekolah: Jawaban Membangun Bangsa. Essay pada Lomba Essay Optimisme Anak Bangsa Tingkat Nasional.


Gardner, H. 2003. Kecerdasan Majemuk. Batam Centre: Interaksara.


http://id.wikipedia.org/wiki/Kurikulum_Tingkat_Satuan_Pendidikan.


Megawangi, R. 2004. Pendidikan Karakter: Solusi yang Tepat Untuk Membangun Bangsa. Cimanggis: Indonesia Heritage Foundation.


Megawangi, R., et.al. 2005. Pendidikan Holistik. Cimanggis: Indonesia Heritage Foundation.


Megawangi, R. 2007. Semua Berakar pada Karakter. Jakarta:FEUI Press.


Muslich, M. 2007. KTSP Dasar Pemahaman dan Pengembangan. Jakarta: Bumi Aksara



UNDP. 2006. Human Development Report 2006. New York: St. Martin’s Press.

masih bengek nih...

Posted on 21.17
cuaca di bogor beberapa minggu terakhir ini bener2 gak mendukung!

kalo gak jaga kesehatan n makan bisa2 sakit! seperti yang kualami 2 minggu yang lalu!

seminggu bener2 sakit!! bayangin aja,, panas badanku waktu itu sampe 39,5 derajat C!

kerjaan waktu itu cuman tidur n makan!! bener2 bikin gak produktif!!

makan pun waktu itu gak bisa banyak,, n u know berat badanku turun berapa?? 3 kilo bo'!!

seneng juga sih,, karena sakit berat badanku jadi turun! hehehe ;p

n sekarang pun masih belom sembuh total,, masih bengek,, flu n batuknya bandel bgt,, gak mau ilang2!!

padahal kerjaan udah numpuk!! BEM,, bikin PKMI n KPKM... fiu....

tapi,,, ya teteup... jalanin aja cz kalo dikostan terus malah bikin pusing!!

ujian 3 minggu!!

Posted on 23.14
btw,, da lama ya ga update blog di diary.

bulan desember kemaren bnr2 bulan yang melelahkan bgt!!

tugas bejibun ampe ga sempet nulis2 lagi di blog....

tapi,, penderitaan bulan desember ternyata belom berakhir n malah minta nambah di bulan januari!!

dari tanggal 7 Januari-22 Januari  2008 aku uas semester 5!! 3 minggu ujian bo!! mana tugas2 juga masih banyak yang belom beres lagi!!

ngebayanginnya dah cape bgt....

tapi,, ya teteup jalanin aja!!


Wanita sebagai Single Parent


dalam Membentuk Anak yang Berkualitas


Oleh: Okvina Nur Alvita


 


Fenomena single parent beberapa dekade terakhir ini menjadi marak terjadi di berbagai negara di seluruh dunia. Pada tahun 2003, di Australia terdapat 14% keluarga dari keseluruhan jumlah keluarga masuk dalam kategori single parent, sedangkan di Inggris pada tahun 2005 terdapat 1,9 juta single parent dan 91% dari angka tersebut adalah wanita sebagai single parent[1]. Berdasarkan data tersebut dapat memberikan gambaran tingginya keluarga yang berstatus sebagai single parent.


Menurut Deacon dan Firebough (1988)[2] ada beberapa faktor yang mempengaruhi status single parent. Faktor-faktor tersebut antara lain: kehamilan sebelum menikah, kematian suami atau istri, perpisahan atau perceraian dan adopsi. Data di Inggris menunjukkan bahwa sebagian besar keluarga yang berstatus single parent adalah wanita sebagai kepala keluarga merangkap sebagai ibu rumah tangga, dalam kata lain wanita menjalankan peran ganda. Fakta yang terjadi di Inggris tersebut akan menunjukkan hal sama yang terjadi pada negara lain termasuk Indonesia. Menjadi single parent dan menjalankan peran ganda bukan merupakan hal yang mudah bagi seorang wanita, terutama dalam hal membesarkan anak. Hal ini dikarenakan, di satu sisi ia harus memenuhi kebutuhan psikologis anak-anaknya (pemberian kasih sayang, perhatian, rasa aman) dan di sisi lain ia pun harus memenuhi semua kebutuhan fisik anak-anaknya (kebutuhan sandang, pangan, papan, kesehatan, pendidikan dan kebutuhan lain yang berkaitan dengan materi). Artinya, wanita yang berstatus sebagai single parent harus mampu mengkombinasikan antara pekerjaan domestik dan publik demi tercapainya tujuan keluarga yang utama, yakni membentuk anak yang berkualitas. Bukan hal yang mudah menjalankan dua peran tersebut sekaligus dalam membentuk anak yang berkualitas. Oleh sebab itu dibutuhkan manajemen keluarga khusus dan matang agar anak yang dibesarkan pada kondisi keluarga single parent pun sama berkualitasnya dengan anak yang dibasarkan pada keluarga utuh.


 


Kematangan Wanita sebagai Single Parent


Seperti yang telah disebutkan pada sebelumnya bahwa keluarga yang berstatus single parent disebabkan oleh beberapa faktor. Beberapa faktor yang ada itu mempengaruhi kematangan wanita sebagai seorang single parent. Kematangan dalam segi fisik dan terutama psikologis menjadi faktor yang utama yang dibutuhkan untuk keberhasilan wanita sebagai single parent dalam membesarkan anaknya. Wanita sebagai single parent yang sangat riskan dalam membesarkan anaknya adalah disebabkan oleh kehamilan sebelum menikah, karena sebagian besar kehamilan sebelum menikah terjadi pada remaja. Remaja belum memiliki kematangan yang cukup untuk menjadi single parent. Pada kasus ini dibutuhkan dukungan yang lebih besar dari keluarganya untuk menyiapkannya menjadi seorang single parent. Pada kasus lain yang menyebabkan wanita menjadi single parent (perpisahan atau perceraian, kematian suami atau istri, dan adopsi), dirasa tidak terlalu bermasalah pada kematangan wanita tersebut (terutama alasan adopsi karena ada keinginan internal dari wanita untuk memiliki dan membesarkan anak, artinya ia telah benar-benar siap dengan segala konsekuensi sebagai single parent) karena pada kondisi itu wanita dinggap telah dewasa dan telah mampu menghadapi segala perubahan yang terjadi, meskipun tidak dapat dipungkiri bahwa tetap membutuhkan jangka waktu tertentu untuk beradaptasi dengan kondisi yang baru.


Kematangan wanita yang berstatus sebagai single parent merupakan hal yang utama dibutuhkan dalam mebesarkan serta mendidik anak-anaknya. Hal tersebut dikarenakan, kematangan pada wanita sebagai single parent dapat mempengaruhi caranya dalam memanajemen diri dan keluarganya, terutama dalam membentuk anak yang berkualitas.


 


Manajemen Keluarga pada Keluarga Berstatus Single Parent


Orang tua sebagai single parent harus menjalankan peran ganda untuk keberlangsungan hidup keluarganya. Sebagai single parent, wanita harus mampu mengkombinasikan dengan baik antara pekerjaan domestik dan publik. Dalam hal ini, kematangan fisik dan psikologis merupakan faktor yang sangat vital dibutuhkan untuk melakukan manajemen keluarga.


Wanita yang berstatus single parent dimana ia harus mencari uang untuk menafkahi keluarganya dan juga harus memenuhi kebutuhan kasih sayang keluarganya harus melakukan perencanaan yang matang dalam pengorganisasian kegiatanya menjalankan peran ganda. Dalam melakukan perencanaan tersebut, ia harus mengkomunikasikan rencana yang telah ia buat pada keluarga terdekatnya (orang tua, paman atau bibi), terutama yang akan dimintai bantuan nantinya.


Setelah dilakukan perencanaan, maka ia harus melaksanakan rencana yang telah ia buat. Apabila diperlukan, maka ia bisa juga meminta bantuan pada keluarga terdekatnya untuk membantu kegiatan keluarganya selama ia diluar rumah untuk mencari nafkah, tentunya ia harus mengkomunikasikan hal ini sebelumnya dengan orang yang bersangkutan.


Hal terakhir yang harus dilakukan dalam memanajemen keluarga yang berstatus single parent adalah dengan mengevaluasi semua kegiatan yang telah berlangsung di keluarga. Evaluasi diperlukan untuk meninjau apakah kegiatan keluarga yang telah berlangsung, terutama yang dihandle oleh anggota keluarga yang lain sesuai dengan harapannya atau tidak. Disamping itu, evaluasi juga dibutuhkan membenahi perencanaan keluarga selanjutnya.


 


Manajemen Wanita sebagai Single Parent dalam Membentuk Anak yang Berkualitas


            Membentuk anak yang berkualitas merupakan tugas dari semua orang tua, begitu pula dengan single parent. Akan tetapi, ada beberapa hal khusus yang harus dilakukan oleh single parent agar anaknya berkembang sama seperti anak-anak pada keluarga lengkap. Hal tersebut antara lain sebagai berikut:


·         Pengganti Figur Orang Tua yang Hilang


Wanita sebagai single parent harus mampu menjadi ibu bagi ana-anaknya sekaligus memenuhi kebutuhan anaknya akan figure seorang ayah. Menjalankan dua peran tersebut bukanlah hal yang mudah. Senada dengan yang diungkapkan oleh Elly Risman, Psi [3]Sudah suratan takdir laki-laki tak akan _ega menjadi ibu seutuhnya, begitu juga ibu tak _ega sepenuhnya mengisi peran ayah”. Lebih lanjut lagi ia menjelaskan bahwa dalam kasus single parent, wajib hukumnya bagi ayah atau ibu yang menjadi orang tua tunggal untuk tetap menghadirkan sosok ayah atau ibu yang tidak ada selama membesarkan anak-anaknya. Mengenai siapa yang _ega dihadirkan sebagai pengganti salah satu orang tua yang tidak ada, menurut Elly, _ega merupakan keluarga terdekat, seperti paman-bibi, kakek-nenek. Pokoknya kerabat sedarah yang tidak mengizinkan adanya pertalian nikah (muhrim). Tak mesti sosok pengganti salah satu orang tua ini berada bersama anak setiap saat. “Cukup selama dua tiga hari atau saat melakukan kegiatan tertentu, seperti belanja ke pasar atau mal bersama nenek dan bibi, sedangkan pergi ke bengkel atau berolahraga dengan paman.” Dengan demikian apa yang tidak didapatkan anak dari salah satu orang tua tetap _ega terpenuhi. “Oh, kita harus bersikap begini rupanya kalau jadi laki-laki,” atau, “Seperti ini rupanya dunia perempuan.”


·         Alokasi Waktu yang Efektif


Menjadi single parent sebetulnya mempunyai sisi baik dari segi keleluasaan waktu yang dimiliki. Ibu/Ayah, hanya berperan membesarkan anak, tidak ada suami/Istri yang harus dilayani dan dimanja-manja,seperti ketika _egati Ayah dan Ibu berada satu atap. Dengan demikian seorang single parent memiliki kelebihan waktu[4].


Wanita sebagai single parent yang menjalankan peran _egative dan publiknya secara bersamaan harus memiliki manajemen waktu yang efektif. Apabila ia berada di tempat kerja, maka ia harus mengkonsentrasikan diri sepenuhnya pada pekerjaannya, dan sebaliknya, apabila ia telah berada di rumah, maka ia harus mencurahkan seluruh perhatiannya terutama pada anak-anaknya. Ia harus menemani anaknya makan, belajar, ataupun membacakan dongeng sebelum tidur.


·         Komunikasi dengan Anak Harus Selalu Dijaga


Manusia sanggup mencintai dan dicintai, ini adalah hal esensial bagi pertumbuhan kepribadian. Kehangatan persahabatan, ketulusan kasih _egati, dan penerimaan orang lain amat dibutuhkan manusia. Anak sangat membutuhkan kasih _egati dari kedua orang tuanya. Kasih _egati yang tidak terpenuhi akan menimbulkan perilaku anak yang kurang baik. Anak akan menjadi agresif, kesepian, frustrasi, bahkan mungkin bunuh diri. Kondisi seperti itu sangat rentan terjadi pada anak dengan kondisi keluarga single parent. Maka orang tua perlu berkomunikasi dengan anak, agar dia tidak merasa kesepian. Orang tua mendengarkan cerita anak, dan sebaliknya orang tua juga menceritakan apa yang sedang dia alami. Jadikan anak sebagai sahabat, agar masing-masing pihak saling mengerti dan memahami situasi yang dialami[5].


 


 


·         Menerapkan Disiplin


Penerapan disiplin pada keluarga single parent menjadi lebih mudah dilaksanakan karena hanya ada satu sumber komando dari Ibu atau Ayah saja[6]. Pada kasus wanita sebagai single parent, anak akan mendapatkan disiplin dari ibunya saja. Akan akan lebih mudah untuk mengerti disiplin yang ditetapkan di keluarganya. Yang perlu diperhatikan adalah, ibu harus menerapkan disiplin yang ada dengan tegas sekaligus penuh kasih sayang. Selain itu, ibu perlu mengkomunikasikan disiplin yang berlaku pada anggota keluarga lain yang membantunya menggantikan figur seorang ayah bagi anaknya.


·         Menjaga Hubungan Interpersonal dengan Anak


Dalam keluarga single parent, hubungan interpersonal antara orang tua dengan anak sangatlah penting untuk dijaga. Menjaga hubungan interpersonal dengan anak dapat dilakukan dengan menjaga komunikasi serta meluangkan waktu khusus bersama anak. Hubungan antara anak dengan orang tua menjadi faktor penentu utama dalam keberhasilan anak berperilaku prososial ketika berinteraksi di lingkungan sosial yang lebih luas Oleh karena itu, hubungan yang terjalin dengan baik antara orang tua dengan anak menentukan keberhasilan anak dalam menjalin hubungan secara interpersonal dengan orang lain[7].


·         Persepsi Positif Terhadap Anak


Kadangkala sebagian single parent, wanita merasa stress dengan beragam pekerjaan yang menumpuk di kantor ditambah lagi dengan kerumitan permasalahan rumah tangga, terutama yang berkaitan dengan anak yang rewel. Kondisi tersebut seringkali menyebabkannya berpersepsi negatif (menganggap anak ini  nakal, makannya rewel, tidak menghargai waktu saya dan berbagai persepsi awal  _egative lainnya) terhadap anak yang dapat menyebabkannya melakukan perbuatan kasar terhadap anak (seperti mencubit, memukul, memarahi, dll). Tanpa kita sadari persepsi negatif mampu memberikan dampak yang buruk bagi perkembangan anak serta kepribadian anak pada masa dewasanya.


Persepsi mengarahkan tindakan kita. Tindakan kita akhirnya  memicu reaksi dari anak. Reaksi dari anak akan memicu pemikiran tertentu. Pemikiran ini akan membentuk persepsi anak tentang dirinya sendiri. Akhirnya  konsep diri anak terbentuk[8].


Berdasarkan ilustrasi diatas, jelaslah bahwa peranan orang tua sangat besar dalam membentuk konsep diri anak. Maka dapat disimpulkan bahwa wanita sebagai single parent haruslah selalu menjaga persepsi positif pada anak jika ingin memiliki anak yang berkualitas.


 


Wanita sebagai single parent saat ini telah banyak dijumpai pada berbagai negara di seluruh penjuru dunia. Sebagai single parent, wanita harus mampu mengkombinasikan peran ganda yang harus dijalankannya, terutama dalam menjalankan tugas utamanya, yakni membentuk anak yang berkualitas. Untuk mencapai tujuan tersebut, maka ia harus melakukan manajemen sumberdaya keluarga yang terencana dan dilaksanakan secara konsisten. Manajemen sumberdaya keluarga tersebut sangat penting untuk dilaksanakan agar semua kebutuhan anak dapat terpenuhi yang pada akhirnya padat membentuk anak yang berkualitas. Berikut ini adalah beberapa tips yang berguna bagi orang tua terutama wanita sebagai single parent dalam membesarkan anak-anaknya.


 


Tips untuk Orang Tua, Terutama Wanita sebagai Single Parent[9]


1.      Tunjukkan kasih sayang. Setiap hari, katakan padanya, "Ibu sayang kamu, kamu buah hatiku". Beri ia banyak sentuhan dan ciuman.


2.      Dengarkan ketika anak-anak bercerita. Beri pula komentar dan dengar kembali apa reaksi mereka.


3.      Ciptakan rasa aman. Lindungi mereka jika mereka merasa takut. Perlihatkan bagaimana Anda selalu berusaha melindungi mereka.


4.      Sediakan semua kebutuhannya. Buat jadwal makan, tidur, main, Jika Anda mengubah jadwal, katakan padanya.


5.      Puji. Ketika mereka belajar sesuatu yang baru atau berperilaku baik, katakan padanya, Anda bangga padanya.


6.      Kritik perilaku yang salah, bukan anaknya. Jika anak berbuat kesalahan, jangan katakan, "Kamu salah!" Sebaliknya, jelaskan padanya, kesalahan yang telah dilakukannya. Misalnya; "Berlari ke jalan raya tanpa melihat kiri-kanan, sangat berbahaya, lo. Jadi, harus tengok kanan-kiri dulu." Ini jauh lebih baik dan bijaksana dibanding Anda mengatakan, "Kamu ini bagaimana, sih? Kok, main nyelonong saja!"


7.      Konsisten. Aturan Anda tidak harus sama dengan aturan di keluarga lain. Yang pasti, harus selalu jelas dan konsisten. Konsisten berarti aturan mainnya sama setiap waktu. Jika kedua orang tua membesarkan anak, keduanya harus menggunakan aturan yang sama. Juga pembantu, saudara, harus mengikuti dan mengetahui aturan yang Anda buat bersama.


8.      Lewatkan waktu bersama anak. Pergi atau main bersama, mem-bersihkan rumah bersama. Pendek kata, selalu libatkan anak. Yang di-butuhkan anak adalah perhatian. Jika ia bertingkah laku buruk, biasanya berarti ia mencari perhatian Anda.







[1] http://en.wikipedia.org/wiki/Single_parent. Diakses tanggal 2 Januari 2008.




[2] Deacon, Ruth E dan Firebough, Francile. M. 1988. Family Resources Management. Massachusetts: Allyn and Bacon, Inc.